CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Wednesday, May 23, 2007

Paradoks Olbers

Ada suatu paradoks yang terkenal dalam astronomi dan kosmoslogi: Apabila alam semesta ini luasnya tak terbatas, seharusnya kita akan melihat bintang di setiap sudut langit, dan dengan demikian langit malah akan sepenuhnya terang-benderang. Lantas, kenapa ada daerah gelap diantara bintang-bintang?

Paradoks ini disebut sebagai paradoks Olbers (Olbers's paradox), sesuai nama fisikawan dan astronom Jerman, Wilhelm Olbers, yang menulis tentang paradoks ini pada 1920-an. Sebenarnya Olbers bukanlah orang pertama yang mengangkat wacana ini. Di awal abad ke-17, astronom Jerman lainnya, Johannes Kepler, merujuk paradoks yang sama untuk mendukung pandangannya tentang alam semesta terbatas. Pada 1715, astronom Inggris Edmond Halley, setelah mengamati jejak cahaya cemerlang di langit, mengajukan pandangannya bahwa kendati alam semesta tidak terbatas, namun bintang-bintang tidak terdistribusi secara merata.

Berikutnya, astronom Swiss Jean-Philippe Loys de Chéseaux mulai mempelajari paradoks tersebut berdasarkan teori Halley. Ia berkesimpulan bahwa entah alam semesta sesungguhnya tidak tak-terbatas, atau kekuatan cahaya bintang berkurang seiring dengan bertambahnya jarak, kemungkinan karena adanya material yang menyerap cahaya di ruang angkasa.

Paradoks ini mulai dipahami secara luas berkat artikel yang diterbitkan Olbers pada 1823. Olbers mengajukan teori bahwa gelapnya langit malam karena ada sesuatu di angjasa yang menghalangi sebagian cahaya bintang mencapai Bumi (Para ilmuwan sekarang menyadari bahwa teori Olbers tidak mungkin valid karena apabila materi yang menghalangi cahaya bintang itu benar-benar ada, maka ia akan terus-menerus memanas dan suatu ketika akan memancarkan cahaya secemerlang sebuah bintang). Terjemahan artikel Olbers dalam bahasa Inggris dan Prancis membuat teorinya lebih dikenal luas. Namun demikian, paradoks Olbers tidak pernah didiskusikan lagi hingga lebih dari seabad kemudian.

Pada 1948, paradoks ini kembali muncul. Kali ini sebagai rujukan dari teori keadaan tetap yang diajukan oleh astronom Inggris, Hermann Bondi. Bondi mengajukan solusi bahwa akibat dari ekspansi alam semesta, cahaya yang kita terima dari objek yang sangat jauh akan terlihat memerah, dan dengan demikian jumlah energi pada setiap foton (partikel cahaya) juga lebih sedikit (lihat pergeseran merah). Solusi ini ternyata juga valid untuk teori big bang.

Pemahaman terkini tentang paradoks Olbers beserta solusinya baru diajukan pada 1960-an oleh astronom Amerika, Edward Harrison. Harisson menunjukkan bahwa gelapnya langit malam disebabkan karena kita tidak dapat melihat bintang yang jauhnya tak-terbatas. Solusi Harrison didasarkan pada model alam semesta yang mengembang. Karena cahaya yang dipancarkan sebuah objek memerlukan waktu untuk mencapai Bumi, maka melihat ke kedalaman angkasa sama seperti melihat kejadian di waktu lampau. Di sisi lain, karena alam semesta masih terus mengembang, maka bintang dan galaksi akan semakin menjauh dari waktu ke waktu. Cahaya yang dipancarkan sebuah galaksi hari ini akan menempuh jarak yang lebih jauh ketimbang cahaya yang dipancarkan pada sejuta, atau bahkan setahun lalu, karena jarak yang memisahkan kita di Bumi dengan galaksi bersangkutan terus bertambah. Konsekuensinya, jumlah energi cahaya yang mencapai kita dari objek yang jauh akan terus berkurang setiap waktu. Makin jauh sebuah bintang, makin redup ia terlihat. Dalam model ini, efek pergeseran merah seperti yang diajukan Bondi memiliki pengaruh yang lebih kecil.

0 comments: