CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Thursday, May 31, 2007

Jejak Riwayat Optika dan Aplikasinya

Cahaya membuat kita bisa menyaksikan keindahan alam, matematika mengungkapkan strukturnya, dan optika adalah alat kesaksian yang tak ada duanya.

PEMAHAMAN manusia terhadap ilmu optika-asalnya dari bahasa Yunani yang berarti "melihat", dan kini umum diartikan dengan segala hal yang berkaitan dengan sistem, instrumen yang memanfaatkan lensa, cermin, prisma-telah dimulai sekitar 300 tahun Sebelum Masehi, ketika Euklides dari Alexandria dalam karyanya Optica mencatat bahwa cahaya menjalar dalam garis lurus dan menjelaskan hukum pemantulan.

SEMENJAK itu tidak sedikit pemikir dan ilmuwan yang mendalami optika. Dari Alexandria sendiri bahkan masih ada nama besar seperti Ptolomeus yang mendalami topik ini sekitar 140 SM. Pada bergantian milenium pertama ke kedua juga hidup Ibnu al-Haitham yang lahir di Basra dan dikenal sebagai penyelidik cermin sferik dan parabolik, dan telah mengetahui masalah aberasi, pembesaran oleh lensa, dan refraksi atmosfer. Karyanya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dibaca oleh sarjana Eropa.

Bisa dicatat pula sumbangan Roger Bacon dari Inggris sekitar tahun 1267 yang telah menyadari bahwa kecepatan cahaya terbatas dan menjalar melalui medium dengan cara yang analog dengan menjalarnya bunyi.

Penelitian mengenai optik pun diperluas, mulai dari untuk keperluan praktis bagi kebutuhan manusia, seperti usulan penggunaan kacamata untuk membantu penglihatan (oleh Bernard Gordon, Perancis, 1303), hingga untuk penyelidikan gejala alam, seperti memahami terjadinya pelangi (Theodoric dari Freiberg pada dekade pertama abad ke-14).

Berikutnya produk optik penting mulai muncul pada akhir abad ke-16 ketika tahun 1590 Zacharius Jensen dari Belanda membuat satu mikroskop menggunakan lensa gabungan. Selain mikroskop dibuat pula teleskop oleh Hans Lippershey (Belanda, 1608), yang kemudian diikuti oleh Galileo Galilei (Italia), yang pada tahun 1610 mengumumkan sejumlah penemuan astronomik-antara lain empat bulan planet Jupiter- dengan perantaraan teleskop buatannya.

Tentang teleskop ini sendiri, cara pembuatannya lalu diperluas dengan keikutsertaan Isaac Newton yang memperkenalkan teleksop relektor, setelah mengetahui bahwa teleskop refraktor mengandung cacat aberasi khromatik.

OPTIKA sebagai satu cabang dalam ilmu fisika, memang telah menyusuri riwayat yang panjang. Penglihatan manusia sendiri telah menjadi satu kajian yang tidak ada habis-habisnya. Tetapi manusia menyadari, bahwa penglihatannya sungguh amat terbatas, baik untuk melihat ukuran-ukuran kecil, maupun untuk melihat benda-benda yang jauh letaknya. Secara alamiah, kemajuan optika amat didorong oleh upaya manusia untuk "memperkuat" daya penglihatannya.

Sekilas di atas telah dikemukakan riwayat perkembangan riset optika. Kalau di zaman kuno ada nama seperti Aristophanes, di Abad Pertengahan ada Galileo dan Newton, berikutnya juga ada Huygens dan van Leeuwenhoek dalam bidang mikroskop, dan Fresnel dan Doppler dalam optika gelombang.

Dari situs Optics Highlights yang dikelola oleh LS Taylor dari Departemen Teknik Listrik di Universitas Maryland, disebut pula sejumlah akar sistem optika modern.

Disebutkan bahwa kemajuan revolusioner di bidang optika pada abad ke-20 dimulai dengan lahirnya laser pada tahun 1960, yang diikuti dengan perkembangan sistem komunikasi optik yang amat cepat, juga sistem pencitraan (imaging), holografi, sistem penyimpanan dan pengambilan data optikal, serta pemrosesan optikal.

Kini, di tahun-tahun awal abad ke-21 wacana sekitar optika telah bergeser dalam lingkup nano-optika. Seperti apa yang diteliti oleh ilmuwan di Institut Optika Universitas Rochester, nano-optika mempelajari interaksi optik dengan materi pada skala di bawah ukuran panjang gelombang (subwavelength). Di institut ini diteliti antara lain material yang ditata dengan teknik nano (nanostructured), yang bergerak dalam skala sepermiliar meter, untuk aplikasi penginderaan. Dalam penelitian lain, yakni tentang molekul tunggal, pada pertengahan Juli lalu juga telah muncul pula temuan menarik bahwa pada molekul tunggal-sebagaimana pada telepon seluler- ada kesamaan, yaitu antena dipol.

Tren menuju nanoscience dan nanotechnology-juga yang melibatkan nano-optika - tidak bisa disangkal lagi. Ini didorong oleh kecenderungan manusia untuk menjangkau skala-skala yang makin kecil dan makin kecil, di mana hukum-hukum fisika yang dipergunakan pun beralih dari makroskopik ke mikroskopik. Eksploitasi efek kuantum bagi pemanfaatan teknologi merupakan tenaga pendorong yang paling besar di belakang miniaturisasi yang marak dewasa ini.

Kemajuan-kemajuan cepat yang dicapai dewasa ini tentu tak bisa dipisahkan dari kemampuan baru yang diperoleh untuk mengukur dan memanipulasi struktur individual pada skala nano, termasuk yang di dalamnya memanfaatkan sarana optik dan mikroskop elektron resolusi-tinggi.

Dalam tren menuju nanoscience dan nanotechnology inilah dipandang perlu untuk membahas optika dalam skala nano. Dasarnya karena limit difraksi membuat orang tidak bisa memfokuskan cahaya ke dimensi yang lebih kecil daripada separuh panjang gelombang, dan ini tentu saja membuat orang tak bisa berinteraksi secara selektif dengan segi-segi (feature) berskala nano.

Tetapi para ilmuwan tidak pernah menyerah. Dalam beberapa tahun terakhir sudah muncul pendekatan baru untuk men-"ciut"-kan limit difraksi (melalui mikroskopi konfokal) atau bahkan mengatasinya (melalui mikroskopi medan-dekat). Dengan teknik khusus kini bisa dilakukan spektroskopi dan pencitraan fluoresens multifoton dengan resolusi spasial kurang dari 20 nanometer. Sejauh ini, itulah resolusi optik tertinggi dalam satu pengukuran spektroskopik.

Berbagai kemajuan ini, seperti disampaikan oleh Michael Beversluis dari Universitas Rochester, telah coba diaplikasikan dalam penyelidikan struktur nano untuk biologi (misalnya mempelajari protein) dan solid state (semikonduktor).

KIRANYA untuk mengantisipasi berbagai kemajuan di bidang optika modern dan aplikasinya inilah Grup Fotonik di Laboratorium Material Organik Kunjugasi dan Superkonduktor Departemen Fisika ITB menggelar Simposium Internasional Optika Modern dan Aplikasinya di ITB Bandung, 9-13 Agustus lalu.

Diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari 10 negara, Simposium-seperti disampaikan oleh Ketua Panitia Pelaksana Prof MO Tjia-mengetengahkan 57 makalah ilmiah. Ditinjau dari jumlah peserta dan makalah yang disajikan, Prof Tjia melihat adanya peningkatan minat terhadap bidang optika modern.

Terlepas dari fakta bahwa ITB dan Indonesia masih ketinggalan jauh dalam riset optika, Rektor ITB Kusmayanto Kadiman dalam sambutannya menyebutkan, Simposium Internasional Optika yang sudah mulai diselenggarakan sejak tahun 2001-jadi tahun 2004 ini untuk keempat kalinya-bermanfaat untuk memajukan komunikasi dan jaringan ilmiah. Kusmayanto juga mencatat, bahwa optika modern memainkan peran yang semakin penting dalam ikhtiar manusia untuk menjawab kebutuhan akan pertukaran dan pemrosesan informasi yang semakin cepat.

Dalam simposium yang didukung oleh sejumlah lembaga internasional seperti Akademi Seni dan Sains Belanda (KNAW), Dinas Pertukaran Akademik Jerman (DAAD), Pusat Fisika Teoretik Internasional Abdus Salam (ICTP), Himpunan Optika Amerika (OSA), UNSCO Jakarta, ambil bagian pula sejumlah peneliti optik dari sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air.

Di antara makalah yang disajikan, karya JW Duparre, A Brauer, P Dannberg, P Schreiber, dan A Tunnermann yang membahas sistem pencitraan mikrooptikal kecil termasuk yang menarik perhatian hadirin, karena salah satu contohnya cukup aktual dengan produk yang hangat dewasa ini, yakni telepon seluler berkamera.

Seperti dipaparkan oleh Brauer tanggal 11 Agustus pagi, optika modern berupaya mendapatkan kamera yang resolusinya-ditunjukkan oleh angka piksel-semakin tinggi, namun tetap bisa dikemas dalam ukuran ponsel yang mungil (dalam ukuran milimeter atau submilimeter).

Bagaimana Fisika Menjelaskan Dark Matter?

Dark matter dan dark energy adalah dua fenomena yang teridentifikasikan dari analisis Latar Kosmik Gelombang Radio (Cosmic Microwave Background/CMB) yang dipetakan oleh Teleskop Satelit WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe). Belum banyak pengetahuan kita tentang dua fenomena ini, bahkan secara gamblang kita nyaris tidak tahu apa-apa tentang kedua hal ini. Lantas, bagaimana kita bisa mengindentifikasikan bahwa kedua benda ini ada sementara kita belum mengerti? Artikel ini menjelaskan bagaimana Fisika kita menjelaskan dark matter di Alam Semesta kita.

Eksistensi Dark Matter

Sekitar awal tahun 1930-an, Jan Oort (Astronom Belanda, 1900 – 1992) mempelajari pergerakan rotasi galaksi-galaksi di Kluster Lokal. Oort mengamati dan menghitung kecepatan pergerakan bintang-bintang di galakasi-galaksi tersebuti. Karena galaksi tidak terpecah-belah oleh pergerakan bintang-bintang di dalamnya, Oort menyimpulkan bahwa pastilah tersedia cukup massa pada pusat galaksi yang menghasilkan gaya gravitasi yang sanggup membuat galaksi tetap utuh. Ini seperti Matahari kita yang sangat massif sehingga sanggup menahan planet-planet dan benda-benda angkasa lainnya tetap mengorbit mengelilinginya.

Selain memanfaatkan pengetahuan kecepatan dan posisi, kita bisa menghitung massa sebuah benda angkasa (seperti bintang dan planet) dari intensitas cahaya yang dipancarkan masing-masing benda angkasa tersebut. Metoda ini adalah yang paling umum dipakai oleh astronomer. Oort mendapati bahwa massa galaksi-galaksi di Kluster Lokal yang didapat dari kecepatan orbit tiga kali lebih massif daripada yang didapat dari intensitas cahaya masing-masing galaksi.

Pada saat yang bersamaan, Fritz Zwicky (Astronomer Swiss, 1898 – 1974) mempelajari Kluster Koma dan mendapati bahwa kecepatan orbit galaksi-galaksi pada sisi terluar kluster ini lebih cepat daripada perhitungan distribusi massa yang didapat dari pengamatan intensitas kluster.

Pengamatan Zwicky ini bisa dipahami sebagai berikut: hukum gravitasi menyaratkan kecepatan orbit benda berbanding terbalik dengan jarak benda tersebut ke pusat orbit. Bumi kita mengorbit terhadap Matahari dengan kecepatan sekitar 100 ribu km/jam, sementara Saturnus yang lebih jauh ke Matahari daripada Bumi mengorbit dengan kecepatan sepertiganya. Untuk membuat Saturnus bergerak lebih cepat, salah satu cara adalah dengan menambahkan massa pada Matahari atau menambah massa secara tersebar dan signifikan antara Matahari dan planet terkait.

Perhitungan Zwicky yang berdasarkan pergerakan kluster memberikan angka bahwa Kluster Coma lebih massif 400 kali daripada perhitungan berdasarkan intensitas cahaya. Permasalahan adanya massa yang hilang ini oleh Zwicky dipostulatkan bahwa ada materi yang luput dari pengamatan para astronom, materi tersebut tidak meradiasikan cahaya. Materi inilah yang disebut dark matter (atau disingkat DM). Pengamatan dan perhitungan modern massa yang dihitung berdasarkan kecepan dan intensitas (disebut rasio Mass/Light, M/L) terhadap beberapa kluster memberikan angka perbandingkan M/L = 300.

Dark Matter dalam Teori Model Baku

DM tidak meradiasikan cahaya, baik itu memancarkan atau memantulkannya. Ini menyulitkan astronom untuk mendeteksi keberadaan Dark Matter. Sejauh ini keberadaan Dark Matter terdeteksi secara tidak langsung dengan metoda konvensional M/L seperti yang sudah kita bahas di atas. Sementara itu eksistensi DM kemudian menjadi penting dalam pemahaman Alam Semesta. Beberapa eksperiment bertekhnologi canggih, terakhir oleh Teleskop Satelit WMAP, memprediksi bahwa sekitar 22% isi Alam Semesta adalah DM.

Kita belum tahu apa partikel DM. Besar kemungkinan bukanlah partikel penyusun atom yang sudah kita kenal dengan baik, karena partikel-partikel penyusun atom meradiasikan cahaya dan teknologi kita sudah bisa mengidentifikasikan mereka dengan baik. Ekstensi dari Teori Model Baku memprediksi kandidat partikel DM dalam dua kategori: barionik dan non-barionik.

Barionik adalah materi yang terdiri oleh tiga quark (partikel elementer) dengan susunan tertentu, proton dan neutron adalah contohnya. Tentu saja bagaimana susunan quark dalam DM belum diketahui. Diprediksi bahwa DM-barionik berbentuk objek yang sangat padat dengan massa yang bervariasi.

Sementara non-barionik DM dibagi lagi atas dua kriteria: Hot Dark Matter (HDM) dan Cold Dark Matter (CDM). Disebut “hot” karena partikel penyusunnya bergerak dengan kecepatan relativistik yang berasal dari dentuman besar dahulu kala. Kandidat partikel HDM adalah nutrino. Sementara partikel penyusun CDM bergerak dengan kecepatan yang lambat dan juga berasal dari dentuman besar. Kandidat partikel CDM adalah nutralino, salah satu jenis partikel WIMP (Weakly Interacting Massive Particle) – yaitu partikel yang massif dan berinteraksi di bawah gaya lemah (weak force). Keberadaan WIMP diprediksi oleh teori Supersimetri (salah satu ekstensi dari Model Baku).

Karena CDM lebih massif daripada HDM, maka CDM menghasilkan gaya gravitasi lebih besar daripada HDM. Tentu kemudian logikanya adalah semakin banyak CDM di alam semesta, semakin banyak kluster terbentuk. Dan inilah yang kita saksikan dalam struktur Alam Semesta dalam skala besar, bahwa Alam Semesta kita terdiri dari banyak kluster-kluster yang membentuk formasi tertentu. Fakta ini mungkin menunjukkan bahwa CDM lebih mendominasi daripada HDM di Alam Semesta kita.

Umumnya kalau kita berbicara tentang DM biasanya merujuk pada CDM. Sejauh ini ada tiga sifat utama DM: 1) DM adalah massif, 2) DM berinteraksi di bawah pengaruh gaya lemah, dan 3) DM bermuatan netral (tidak di bahas dalam artikel ini).

Massifnya DM, sesuai dengan Teori Relativitas Umum, akan membuat ruang-waktu melengkung. Efek ini disebut lensa gravitasi. Teleskop-teleskop yang diorbitkan di angkasa, seperti Satelit HST (Hubble Space Telescope), umumnya memakai efek ini untuk mencoba mendeteksi keberadaan DM. Selain teleskop satelit, banyak juga eksperimen-eksperimen di bumi untuk mendeteksi partikel WIMP, DAMA/NaI di Itali adalah salah satunya. Eksperimen lain dan lebih canggih juga sedang dikembangkan oleh NASA, misalnya adalah EGRET (Energetic Gamma Ray Experiment Telescope) yang mendeteksi DM dari proses peleburan dua atau lebih DM.

Nah, kapankah kita akan berhasil membuka tabir DM? Dan pada waktu bersamaan, satu misteri yang lebih besar lagi, dark energy, juga harus dikuak untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang Alam Semesta.

Thursday, May 24, 2007

Sejarah Awal Teori Pembentukan Tata Surya

Sebuah teori lahir dari keingintahuan akan suatu kejadian atau keadaan. Tidak mudah untuk mempercayai sebuah teori baru, apalagi jika teori tersebut lahir ditengah kondisi masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh para ilmuwan di awal-awal penemuan mereka.

Hal utama yang dihadapi untuk mengerti lebih jauh lagi tentang Tata Surya adalah bagaimana Tata Surya itu terbentuk, bagaimana objek-objek didalamnya bergerak dan berinteraksi serta gaya yang bekerja mengatur semua gerakan tersebut. Jauh sebelum Masehi, berbagai penelitian, pengamatan dan perhitungan telah dilakukan untuk mengetahui semua rahasia dibalik Tata Surya.

Pengamatan pertama kali dilakukan oleh bangsa China dan Asia Tengah, khususnya dalam pengaruhnya pada navigasi dan pertanian. Dari para pengamat Yunani ditemukan bahwa selain objek-objek yang terlihat tetap di langit, tampak juga objek-objek yang mengembara dan dinamakan planet. Orang-orang Yunani saat itu menyadari bahwa Matahari, Bumi, dan Planet merupakan bagian dari sistem yang berbeda. Awalnya mereka memperkirakan Bumi dan Matahari berbentuk pipih tapi Phytagoras (572-492 BC) menyatakan semua benda langit berbentuk bola (bundar).

Sampai dengan tahun 1960, perkembangan teori pembentukan Tata Surya bisa dibagi dalam dua kelompok besar yakni masa sebelum Newton dan masa sesudah Newton.

Permulaan Perhitungan Ilmiah
Perhitungan secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh Aristachrus dari Samos (310-230 BC). Ia mencoba menghitung sudut Bulan-Bumi-Matahari dan mencari perbandingan jarak dari Bumi-Matahari, dan Bumi-Bulan. Aristachrus juga merupakan orang pertama yang menyimpulkan Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan berbentuk lingkaran yang menjadi titik awal teori Heliosentrik. Jadi bisa kita lihat kalau teori heliosentrik bukan teori yang baru muncul di masa Copernicus. Namun jauh sebelum itu, Aristrachrus sudah meletakkan dasar bagi teori heliosentris tersebut.

Pada era Alexandria, Eratoshenes (276-195BC) dari Yunani berhasil menemukan cara mengukur besar Bumi, dengan mengukur panjang bayangan dari kolom Alexandria dan Syene. Ia menyimpulkan, perbedaan lintang keduanya merupakan 1/50 dari keseluruhan revolusi. Hasil perhitungannya memberi perbedaan sebesar 13% dari hasil yang ada saat ini.

Ptolemy dan Teori Geosentrik
Ptolemy (c 150AD) menyatakan bahwa semua objek bergerak relatif terhadap bumi. Dan teori ini dipercaya selama hampir 1400 tahun. Tapi teori geosentrik mempunyai kelemahan, yaitu Matahari dan Bulan bergerak dalam jejak lingkaran mengitari Bumi, sementara planet bergerak tidak teratur dalam serangkaian simpul ke arah timur. Untuk mengatasi masalah ini, Ptolemy mengajukan dua komponen gerak. Yang pertama, gerak dalam orbit lingkaran yang seragam dengan periode satu tahun pada titik yang disebut deferent. Gerak yang kedua disebut epycycle, gerak seragam dalam lintasan lingkaran dan berpusat pada deferent.

Teori heliosentrik dan gereja
Nicolaus Copernicus (1473-1543) merupakan orang pertama yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Matahari merupakan pusat sistem Tata Surya, dan Bumi bergerak mengeliinginya dalam orbit lingkaran. Untuk masalah orbit, data yang didapat Copernicus memperlihatkan adanya indikasi penyimpangan kecepatan sudut orbit planet-planet. Namun ia mempertahankan bentuk orbit lingkaran dengan menyatakan bahwa orbitnya tidak kosentrik. Teori heliosentrik disampaikan Copernicus dalam publikasinya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium kepada Paus Pope III dan diterima oleh gereja.

Tapi dikemudian hari setelah kematian Copernicus pandangan gereja berubah ketika pada akhir abad ke-16 filsuf Italy, Giordano Bruno, menyatakan semua bintang mirip dengan Matahari dan masing-masing memiliki sistem planetnya yang dihuni oleh jenis manusia yang berbeda. Pandangan inilah yang menyebabkan ia dibakar dan teori Heliosentrik dianggap berbahaya karena bertentangan dengan pandangan gereja yang menganggap manusialah yang menjadi sentral di alam semesta.

Lahirnya Hukum Kepler
Walaupun Copernicus telah menerbitkan tulisannya tentang Teori Heliosentrik, tidak semua orang setuju dengannya. Salah satunya, Tycho Brahe (1546-1601) dari Denmark yang mendukung teori matahari dan bulan mengelilingi bumi sementara planet lainnya mengelilingi matahari. Tahun 1576, Brahe membangun sebuah observatorium di pulau Hven, di laut Baltic dan melakukan penelitian disana sampai kemudian ia pindah ke Prague pada tahun 1596.

Di Prague, Brahe menghabiskan sisa hidupnya menyelesaikan tabel gerak planet dengan bantuan asistennya Johannes Kepler (1571-1630). Setelah kematian Brahe, Kepler menelaah data yang ditinggalkan Brahe dan menemukan bahwa orbit planet tidak sirkular melainkan elliptik.

Kepler kemudian mengeluarkan tiga hukum gerak orbit yang dikenal sampai saat ini yaitu ;
Planet bergerak dalam orbit ellips mengelilingi matahari sebagai pusat sistem.
Radius vektor menyapu luas yang sama dalam interval waktu yang sama.
Kuadrat kala edar planet mengelilingi matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata dari matahari.

Kepler menuliskan pekerjaannya dalam sejumlah buku, diantaranya adalah Epitome of The Copernican Astronomy dan segera menjadi bagian dari daftar Index Librorum Prohibitorum yang merupakan buku terlarang bagi umat Katolik. Dalam daftar ini juga terdapat publikasi Copernicus, De Revolutionibus Orbium Coelestium.

Awal mula dipakainya teleskop
Pada tahun 1608, teleskop dibuat oleh Galileo Galilei (1562-1642), .Galileo merupakan seorang professor matematika di Pisa yang tertarik dengan mekanika khususnya tentang gerak planet. Ia salah satu yang tertarik dengan publikasi Kepler dan yakin tentang teori heliosentrik. Dengan teleskopnya, Galileo berhasil menemukan satelit-satelit Galilean di Jupiter dan menjadi orang pertama yang melihat keberadaan cincin di Saturnus.

Salah satu pengamatan penting yang meyakinkannya mengenai teori heliosentrik adalah masalah fasa Venus. Berdasarkan teori geosentrik, Ptolemy menyatakan venus berada dekat dengan titik diantara matahari dan bumi sehingga pengamat dari bumi hanya bisa melihat venus saat mengalami fasa sabit.

Tapi berdasarkan teori heliosentrik dan didukung pengamatan Galileo, semua fasa Venus bisa terlihat bahkan ditemukan juga sudut piringan venus lebih besar saat fasa sabit dibanding saat purnama. Publikasi Galileo yang memuat pemikirannya tentang teori geosentrik vs heliosentrik, Dialogue of The Two Chief World System, menyebabkan dirinya dijadikan tahanan rumah dan dianggap sebagai penentang oleh gereja.

Dasar yang diletakkan Newton
Di tahun kematian Galileo, Izaac Newton (1642-1727) dilahirkan. Bisa dikatakan Newton memberi dasar bagi pekerjaannya dan orang-orang sebelum dirinya terutama mengenai asal mula Tata Surya. Ia menyusun Hukum Gerak Newton dan kontribusi terbesarnya bagi Astronomi adalah Hukum Gravitasi yang membuktikan bahwa gaya antara dua benda sebanding dengan massa masing-masing objek dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda. Hukum Gravitasi Newton memberi penjelasan fisis bagi Hukum Kepler yang ditemukan sebelumnya berdasarkan hasil pengamatan. Hasil pekerjaannya dipublikasikan dalam Principia yang ia tulis selama 15 tahun.

Teori Newton menjadi dasar bagi berbagai teori pembentukan Tata Surya yang lahir kemudian, sampai dengan tahun 1960 termasuk didalamnya teori monistik dan teori dualistik. Teori monistik menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Sedangkan teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.

Teori Capture


Teori pasang surut Jeans-Jeffreys mengajukan kalau materi yang disapu oleh bintang saat berpapasan dengan Matahari akan membentuk planet. Tahun 1964, Woolffson memperkenalkan model baru dari teori pasang surut, yang dikenal dengan nama teori capture. Teori yang diajukan Woolfson menyatakan kalau bintang yang berpapasan dengan Matahari yang menyediakan materi pembentuk planet yang kemudian ditangkap oleh Matahari.

Pembentukan bintang dalam gugus galaksi dalam hal ini dari pengamatan terhadap gugus muda, bintang pertama yang terbentuk memiliki massa lebih dari satu massa Matahari dan sesudah itu bintang dengan massa yang lebih kecil mulai terbentuk. Dalam lingkungan yang memiliki kerapatan cukup besar seperti pada gugus muda, interaksi antar bintang akan sering tering terjadi – ini merupakan interaksi yang memberikan cukup energi bagi bintang tunggal untuk melepaskan diri dari gugus tersebut, yang kemudian dihamburkan dan membentuk bidang bagi bintang. Bentuk interaksi yang diajukan Woolfson, melibatkan Matahari dalam kaitannya untuk pembentukan Tata Surya dan protobintang dengan massa yang lebih kecil yang baru terbentuk dan masih berada dalam kondisi mengembang dan terhambur.

Dalam interaksinya, proto bintang akan bergerak dalam orbit hiperbola relative terhadap Matahari dan melewatinya dalam batas jarak Roche sehingga terjadi penghamburan atau pemisahan materi dari protobintang tersebut. Pada saat berpapasan, filament dari protobintang akan disapu keluar pada kondisi tidal bulge (betuk ellipsoid pada bintang yang terjadi akibat besarnya gaya pasang surut di ekuator) yang ekstrim dan ketidakstabilan gravitasi menyebabkan filamen pecah dalam beberapa rangkaian kondensasi. Garis kerapatan filamen cukup tinggi sehingga setiap blob (gumpalan) akan memiliki massa melampaui massa kritis Jeans dan blob akan saling berkontraksi membentuk protoplanet.

Protoplanet terbentuk pada orbit bereksentrisitas (kelonjongan) tinggi antara 0,7 – 0,9 dan jarak terjauh (aphelion) memiliki rentang lebih dari 100 AU. Protoplanet membutuhkan waktu dari puluhan sampai ratusan tahun untuk berkondensasi sebelum mereka harus memulai fasa menyelamatkan diri dari gaya pasang surut pada saat memasuki perihelion (jarak terdekat dengan Matahari). Proses kondensasi protoplanet memberi kesempatan pada protoplanet untuk membentuk planet mayor sementara gaya pasang surut justru membuatnya mengembang, tertarik dan materi terluar terutama di daerah tidal bulge, akan memperoleh spin momentum sudut. Keruntuhan protoplanet terjadi dan meninggalkan materi di bagian tidal bulge. Materi di bulge akan membentuk filamen dengan kumpulan blob tunggal yang kemudian akan membentuk satelit.

Beberapa keberatan tehadap teori capture adalah ia merupakan bagian dari teori dualistic yang membutuhkan mekanisme lain untuk bisa menjelaskan spin Matahari yang lambat. Pembentukan satelit dalam teori capture melalui keruntuhan protoplanet masih harus dibuktikan lagi.

Perbedaan esensial antara model capture dan model Jeans :
Materi yang yang dating dari proto bintang ditangkap oleh bintang yang terkondensasi.
Materi yang membentuk planet merupakan materi yang dingin, sehingga meniadakan keberatan yang diajukan terhadap teori pasang surut Jeans
Pada saat interaksi proto bintang memiliki radius sekitar 20 AU dan jarak aphelion orbitnya sekitar 40 AU. Jarak ini yang kemudian diadaptasi sebagai skala Tata Surya.

sumber : The Origin and Evolution of the Solar System (M. M. Woolfson)

Wednesday, May 23, 2007

Hari Meluruskan Arah Kiblat



"Dan dari mana saja engkau keluar (untuk mengerjakan shalat), maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka'bah), dan sesungguhnya perintah berkiblat ke Ka'bah itu adalah benar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), Allah tidak sekali-kali lalai akan segala apa yang kamu lakukan." ( QS. Al-Baqarah : 149 )


“ Baitullah ( Ka'bah ) adalah kiblat bagi orang-orang di dalam Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Haram adalah kiblat bagi orang-orang yang tinggal di Tanah Haram ( Makkah ) dan Makkah adalah qiblat bagi seluruh penduduk bumi, Timur dan Barat dari umatKu” ( Hadith Riwayat Al-Baihaqi )

Dalam ajaran Islam, mengadap ke arah kiblat ( Masjidil Haram / Ka'bah ) adalah suatu tuntutan syariah di dalam melaksanakan ibadah tertentu, ia wajib dilakukan ketika hendak mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah orang Islam, ia juga merupakan sunah ketika azan, berdoa, berzikir, membaca Al-Quran, menyembelih binatang dan sebagainya.

Berdasarkan tinjauan astronomis atau falak, terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk meluruskan arah kiblat antaranya menggunakan kompas, theodolit, rasi bintang serta fenomena transit utama matahari di atas kota Mekkah yang dikenal dengan istilah Istiwa A'zam (Istiwa Utama). Di kalangan pesantren di Indonesia istilah yang cukup dikenal adalah "zawal" atau "rashdul qiblat".



Istiwa adalah fenomena astronomis saat posisi matahari melintasi meridian langit. Dalam penentuan waktu shalat, istiwa digunakan sebagai pertanda masuknya waktu shalat Zuhur. Pada saat tertentu di sebuah daerah dapat terjadi peristiwa yang disebut Istiwa Utama atau 'Istiwa A'zam' yaitu saat posisi matahari berada tepat di titik Zenith (tepat di atas kepala) suatu lokasi. Namun peristiwa ini hanya terjadi di daerah antara 23,5˚ Lintang Utara dan 23,5˚ Lintang Selatan. Istiwa Utama yang terjadi di kota Makkah dimanfaatkan oleh kaum Muslimin di negara-negara sekitar Arab khususnya yang berbeda waktu tidak lebih dari 5 (lima) jam untuk menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan matahari. Istiwa A'zam di Makkah terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Makkah dan 16 Juli sekitar pukul 12.26 Waktu Makkah. Fenomena Istiwa Utama terjadi akibat gerakan semu matahari yang disebut gerak tahunan matahari (musim) sebab selama bumi beredar mengelilingi matahari sumbu bumi miring 66,5˚ terhadap bidang edarnya sehingga selama setahun terlihat di bumi matahari mengalami pergeseran 23,5˚ LU sampai 23,5˚ LS. Saat nilai azimuth matahari sama dengan nilai azimuth lintang geografis sebuah tempat maka di tempat tersebut terjadi Istiwa Utama yaitu melintasnya matahari melewati zenith.

__________________________________________________

SENIN, 28 MEI 2007 @ 16:18 WIB

MATAHARI DI ZENITH KOTA MAKKAH

ARAH MATAHARI = ARAH KIBLAT

__________________________________________________

Teknik penentuan arah kiblat menggunakan Istiwa Utama sebenarnya sudah dipakai lama sejak ilmu falak berkembang di Timur Tengah. Demikian halnya di Indonesia dan beberapara negara-negara Islam yang lain juga banyak menggunakan teknik ini. Sebab teknik ini memang tidak memerlukan perhitungan yang rumit dan siapapun dapat melakukannya. Yang diperlukan hanyalah sebilah tongkat dengan panjang lebih kurang 1 meter dan diletakkan berdiri tegak di tempat yang datar dan mendapat sinar matahari. Pada tanggal dan jam saat terjadinya peristiwa Istiwa Utama tersebut simak bayangan yang terjadi. Karena di negara kita peristiwanya terjadi pada sore hari maka arah bayangan tongkat adalah ke Timur, sedangkan arah bayangan sebaliknya yaitu yang ke arah Barat agak serong ke Utara merupakan arah kiblat yang benar. Cukup sederhana dan tidak memerlukan ketrampilan khusus serta perhitungan perhitungan rumus-rumus. Jika hari itu gagal karena matahari terhalang oleh mendung maka masih diberi roleransi penentuan dilakukan pada H-1 atau H+1.



Penentuan arah kiblat menggunakan teknik seperti ini memang hanya berlaku untuk daerah-daerah yang pada saat peristiwa Istiwa Utama dapat melihat secara langsung matahari dan untuk penentuan waktunya menggunakan konversi waktu terhadap Waktu Makkah. Sementara untuk daerah lain di mana saat itu matahari sudah terbenam misalnya wilayah Indonesia bagian Timur praktis tidak dapat menggunakan teknik ini. Sedangkan untuk sebagian wilayah Indonesia bagian Tengah barangkali masih dapat menggunakan teknik ini karena posisi matahari masih mungkin dapat terlihat. Namun demikian masih ada teknik lain yang juga menggunakan bayangan matahari untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat di seluruh permukaan bumi yang akan dibahas nanti pada artikel berikutnya.

Ophiuchus Zodiak Ke-13


Di beberapa milis yang saya ikuti topik bahasan yang sedang ngetrend saat ini adalah kontroversi mengenai Rasi Ophiuchus yang terangkat menjadi Zodiak ke-13 dan berubahnya tanggal horoskop yang sempat membuat pertanyaan besar bagi para penggemar horoskop atau ramalan bintang. Tidak di dunia maya internet saja pertanyaan itu ditujukan kepada saya bahkan di dunia nyata sempat beberapa kawan menanyakan masalah ini. Dan keyakinan saya bahwa banyak mungkin orang yang juga masih awam mengenai hal ini.
.
Ini juga yang menggugah saya untuk menulis posting dengan judul "Ophiuchus Zodiak Ke-13" dengan harapan para pembaca dapat mengetahui perbedaan astrologi dan astronomi. Sebab ternyata astrologi masih sering dikelirukan dengan astronomi begitupun sebaliknya, padahal antara keduanya terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip.
.
Astrologi adalah ilmu tradisi yang mempelajari tentang hubungan antara kejadian-kejadian di bumi dengan posisi dan pergerakan benda-benda langit misalnya matahari, bulan dan planet-planet serta bintang-bintang. Ilmu ini berkembang sudah sejak sekitar 4000 tahun yang lalu dimulai dari Mesopotania sebuah negeri di Timur Tengah lalu berkembang ke Eropa, Amerika serta Asia. Pakar astrologi dinamakan astrolog. Astrolog yang cukup tersohor adalah Nostradamus dari Perancis yang terkenal dengan bukunya yang berjudul 'Centuries' berisi tentang 'Ramalan Nostradamus' -- walau sejauh ini tidak banyak terbukti --.


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka astrologi pun turut berkembang. Pada awalnya astrologi dan astronomi merupakan satu kesatuan ilmu, namun pada abad 17 astrologi mulai dipisahkan dari astronomi dikarenakan metode yang digunakan para astrolog tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, bahkan di Barat astrologi tidak hanya mendapat perlawanan dari para ilmuwan tapi juga Gereja karena dianggap melanggar ajaran agama.

Lain halnya dengan astronomi, ilmu ini mempelajari alam semesta dan benda-benda langit didasarkan pada metode serta perhitungan secara ilmiah. Perhitungan ini berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran dengan ketelitian yang tinggi serta menggunakan alat-alat observasi yang canggih seperti teleskop, satelit dan pengiriman pesawat angkasa serta pengolahan data menggunakan komputer sehingga pergerakan benda-benda langit bisa diperkirakan secara pasti baik untuk kondisi masa yang lalu maupun kondisi masa yang akan datang.

Kini program peta langit dan simulator planetarium untuk menghitung secara presisi posisi pergerakan benda-benda langit banyak bertebaran di internet, salah satunya adalah program Starrynight. Dengan bantuan program ini kita dapat mengetahui dengan akurat posisi semua benda langit dari hari ke hari dari 100.000 tahun yang lalu hingga 100.000 tahun yang akan datang. Tingkat akurasi program ini sudah teruji melalui serangkaian peristiwa astronomis seperti gerhana, fase bulan, pergerakan planet, bulan dan matahari maupun bintang-bintang. Astronomi juga berkembang pesat dengan serangkaian misi-misi pesawat antariksa dalam upaya eksplorasi alam semesta demi kemakmuran umat manusia. Kalau astrologi mengenal hanya 12 rasi yang disebut zodiak, maka astronomi membagi bola langit dengan 88 rasi termasuk di dalamnya 12 zodiak, 29 rasi langit Selatan dan 47 rasi langit Utara dengan nama dan batas-batas yang telah disepakati melalui Internasional Astronomical Union (IAU) tahun 1921. Astronom (pakar dalam bidang astronomi) menggunakan rasi-rasi tersebut untuk kepentingan ilmiah seperti pemetaan bintang, galaksi dan nebula serta pendataan posisi penemuan benda langit. Kini astronom tidak hanya para profesional yang memang latar belakang pendidikan khusus dalam bidang astronomi namun banyak muncul pula astronom amatir yaitu para pecinta ilmu astronomi dari kalangan masrakat umum yang juga banyak memberikan kontribusi dalam kemajuan ilmu astronomi.


Dalam perkembangannya ternyata astrologi justru lebih populer dari pada astronomi. Hingga kini bahkan beberapa astrolog mengkhususkan diri dalam Astrologi Kesehatan (Medical Astrology), sementara yang lain menggunakan astrologi untuk menelaah gejala-gejala finansial dalam bisnis dan bursa efek (Financial Astrology). Astrologi Duniawi (Mundane Astrology) adalah tentang politik dan peristiwa dunia, sementara Astrologi Pemilihan (Electional Astrology) digunakan untuk membantu orang menemukan waktu atau hari yang tepat untuk menikah, mendirikan usaha, memulai pekerjaan baru dan lain-lain. Astrologi Pertanyaan (Horary Astrology) menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang berdasar pada saat-saat mereka muncul dalam pikiran si penanya. Walaupun demikian, di antara semua aliran astrologi yang paling populer adalah Astrologi Kelahiran (Natal Astrology), yaitu jenis astrologi yang menganalisa kepribadian dan potensi kehidupan seseorang berdasar pada tanggal, waktu dan tempat kelahiran.

Astrologi mengklaim bahwa posisi benda langit saat seseorang dilahirkan dapat mempengaruhi watak dan kepribadiannya bahkan nasibnya dikemudian hari. Walaupun hal ini sudah ditolak mentah-mentah oleh para saintis karena sangat tidak ilmiah sehingga dianggap sebagai 'pseudo science' kayaknya sains tapi bukan. Namun demikian berjuta-juta orang di dunia masih saja banyak yang percaya dan mempraktekkannya. Bahkan klaim tidak hanya sebatas itu saja bahkan posisi tersebut diyakini dapat mempengaruhi kondisi bumi secara geologis misalnya peristiwa gempa bumi, gunung meletus, banjir dan peristiwa alam lainnya..


Astrolog memiliki perlengkapan yang disebut Horoskop yaitu sebuah gambaran peta langit dengan bumi berada di pusatnya dan dikelilingi oleh pita melingkar bergambar 12 rasi bintang yang disebut zodiak. Rasi zodiak ini membagi persis lingkaran 360° menjadi 12 bagian sehingga masing-masing lebarnya 30°. Ke 12 rasi zodiak itu adalah Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn Aquarius, dan Pisces. Horoskop dibuat oleh para astrolog untuk mengetahui dimana posisi matahari saat seseorang dilahirkan. Ini adalah salah satu aliran astrologi yang paling populer dan paling banyak penggemarnya termasuk di Indonesia. Kenapa mereka membagi lingkaran langit menjadi 12 sama persis, ternyata alasannya adalah hal itu sudah merupakan kesepakatan dari tradisi turun temurun sejak Claudius Ptelomeus mengenalkan horoskop tersebut memasuki abad ke-2. -- sepakat dalam kekeliruan? --

Di toko-toko buku kita akan sangat sulit mencari buku-buku astronomi, namun kalau mencari buku tentang horoskop, astrologi dan ramalan bintang wah 'seabreg' akan kita dapatkan. Horoskop masuk dalam kategori 'sun sign astrology' karena menggunakan matahari sebagai panduan. Misalnya jika seseorang lahir saat matahari berada di Rasi Leo maka ia berbintang Leo. Rasi ini memang tidak terlihat saat kelahiran seseorang karena ia justru berada di belakang posisi matahari saat itu. -- lihat tabel zodiak pasti banyak yang tidak cocok --



Namun demikian apa yang menjadi pedoman para astrolog kini sudah tidak relevan lagi jika dicocokkan dengan dengan kondisi sekarang artinya tanggal-tanggal seperti tercantum dalam masing-masing Zodiak tersebut tidak sama lagi kondisinya secara astronomis dengan waktu sekarang. Bahkan ternyata pita zodiak kini tidak hanya terdiri dari 12 rasi saja akan tetapi pada periode tertentu matahari juga melewati rasi non zodiak yaitu rasi Ophiuchus yang berada diantara Scorpius dan Sagitarius, sehingga seharusnya Ophiuchus menjadi zodiak ke-13.

Kenapa hal ini dapat terjadi? Jawabannya adalah perjalanan waktu akibat peristiwa yang disebut 'presesi bumi' yang menjadi penyebab. Seiring perjalan waktu dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad berikutnya terjadi pergeseran terhadap titik Aries (Ekuinox) yang menjadi acuan awal durasi zodiak ini akibat presesi bumi. Besarnya pergeseran tersebut memang sangat kecil yaitu 0,0139° setiap tahun tapi jika itu terjadi selama 2000 tahun yang lalu hingga sekarang ( 2000 x 0,0139° = 27,8° ) sehingga yang disebut titik Aries kini tidak lagi terletak di rasi Aries melainkan sudah bergeser di rasi Pisces dan akan terus bergeser. Nantinya setelah 25.800 tahun berlalu titik ini akan kembali lagi di rasi Aries. Artinya tanggal yang menjadi pedoman horoskop bergeser cukup jauh dari rasinya, sebuah angka tidak pernah diperhitungkan oleh para astrolog.



Ini barangkali yang perlu dipertanyakan kepada mereka yang masih saja percaya dengan ramalan-ramalan bintang yang banyak menghiasi majalah, tabloid, surat kabar dan media-media lain. Alasan mempertahankan tradisi untuk menggunakan horoskop tidak menyelesaikan masalah sebab kini orang sudah tahu bahwa horoskop ternyata hanya bualan dan isapan jempol belaka.

Satu pondasi penting yang menjadi dasar perhitungan para astrolog sudah nyata-nyata keliru, belum lagi masalah zodiak ke-13 (rasi Ophiuchus) para astrologpun masih belum mau mengakui. Kalau toh tidak masuknya Ophiuchus dikarenakan astrolog punya definisi tersendiri mengenai Zodiak sehingga bisa saja Ophiuchus ini menjadi bagian dari Scorpius, namun yang tidak bisa lagi dibantah adalah kesalahan mereka tentang posisi matahari dalam horoskopnya.

Jadi kenapa kita harus pusing dengan berubahnya zodiak atau horoskop? Kenapa banyak dari kita yang begitu percaya dengan ramalan bintang? Percayakan anda bahwa nasib manusia hanya dipilah menjadi 12 bagian? Percayakan anda bahwa 'bintang' (bukan bintang sih sebenarnya, tapi rasi) yang anda miliki betul-betul mempengaruhi kehidupan anda? Pernahkah anda melakukan perbandingan terhadap hasil ramalan bintang beberapa peramal? Apakah mereka mendapatkan hasil yang sama? Kenapa menurut mereka hanya matahari, bulan atau planet yang mempengaruhi? Lalu apakah juga galaksi yang ukurannya jauh lebih besar justru tidak diperhitungkan? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menjadi landasan kita agar bisa berfikir secara ilmiah.

Namun kenyataannya masih saja astrologi menjadi dagangan yang laris. Inilah kepiawaian para astrolog mengolah dan bermain kata-kata sehingga bisa banyak mempengaruhi para pembacanya. Seolah apa yang ia katakan lebih banyak benarnya dari pada salahnya, padahal sebenarnya justru sebaliknya atau bahkan tidak ada yang benar sama sekali.



Bagi beberapa agama, percaya dengan para peramal atau ahli nujum adalah termasuk perbuatan dilarang. Dalam Islam misalnya; Rasulullah menyampaikan peringatan Allah dalam hadits qudsi: "Siapa yang berkata hujan karena bintang ini dan itu maka telah kafir kepada-Ku dan percaya kepada bintang" (HR Bukhari-Muslim). Juga Allah menegaskan dalam Alquran, "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami mengadakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah." (QS 57:22). Jodoh, rejeki, nasib manusia serta bencana yang akan menimpa bukan karena posisi matahari, planet atau bintang, tetapi karena sunnatulah, ketentuan dari Allah. Jadi sebaiknya kita jangan terlalu percaya dengan ramalan-ramalan itu kalau tidak mau dibilang sirik atau bahkan kafir??. Tapi kalau hanya sekedar untuk 'joke' atau permainan atau hiburan saya pikir boleh-boleh saja ya? mungkin?. Gimana? Wallau'alam.

Paradoks Olbers

Ada suatu paradoks yang terkenal dalam astronomi dan kosmoslogi: Apabila alam semesta ini luasnya tak terbatas, seharusnya kita akan melihat bintang di setiap sudut langit, dan dengan demikian langit malah akan sepenuhnya terang-benderang. Lantas, kenapa ada daerah gelap diantara bintang-bintang?

Paradoks ini disebut sebagai paradoks Olbers (Olbers's paradox), sesuai nama fisikawan dan astronom Jerman, Wilhelm Olbers, yang menulis tentang paradoks ini pada 1920-an. Sebenarnya Olbers bukanlah orang pertama yang mengangkat wacana ini. Di awal abad ke-17, astronom Jerman lainnya, Johannes Kepler, merujuk paradoks yang sama untuk mendukung pandangannya tentang alam semesta terbatas. Pada 1715, astronom Inggris Edmond Halley, setelah mengamati jejak cahaya cemerlang di langit, mengajukan pandangannya bahwa kendati alam semesta tidak terbatas, namun bintang-bintang tidak terdistribusi secara merata.

Berikutnya, astronom Swiss Jean-Philippe Loys de Chéseaux mulai mempelajari paradoks tersebut berdasarkan teori Halley. Ia berkesimpulan bahwa entah alam semesta sesungguhnya tidak tak-terbatas, atau kekuatan cahaya bintang berkurang seiring dengan bertambahnya jarak, kemungkinan karena adanya material yang menyerap cahaya di ruang angkasa.

Paradoks ini mulai dipahami secara luas berkat artikel yang diterbitkan Olbers pada 1823. Olbers mengajukan teori bahwa gelapnya langit malam karena ada sesuatu di angjasa yang menghalangi sebagian cahaya bintang mencapai Bumi (Para ilmuwan sekarang menyadari bahwa teori Olbers tidak mungkin valid karena apabila materi yang menghalangi cahaya bintang itu benar-benar ada, maka ia akan terus-menerus memanas dan suatu ketika akan memancarkan cahaya secemerlang sebuah bintang). Terjemahan artikel Olbers dalam bahasa Inggris dan Prancis membuat teorinya lebih dikenal luas. Namun demikian, paradoks Olbers tidak pernah didiskusikan lagi hingga lebih dari seabad kemudian.

Pada 1948, paradoks ini kembali muncul. Kali ini sebagai rujukan dari teori keadaan tetap yang diajukan oleh astronom Inggris, Hermann Bondi. Bondi mengajukan solusi bahwa akibat dari ekspansi alam semesta, cahaya yang kita terima dari objek yang sangat jauh akan terlihat memerah, dan dengan demikian jumlah energi pada setiap foton (partikel cahaya) juga lebih sedikit (lihat pergeseran merah). Solusi ini ternyata juga valid untuk teori big bang.

Pemahaman terkini tentang paradoks Olbers beserta solusinya baru diajukan pada 1960-an oleh astronom Amerika, Edward Harrison. Harisson menunjukkan bahwa gelapnya langit malam disebabkan karena kita tidak dapat melihat bintang yang jauhnya tak-terbatas. Solusi Harrison didasarkan pada model alam semesta yang mengembang. Karena cahaya yang dipancarkan sebuah objek memerlukan waktu untuk mencapai Bumi, maka melihat ke kedalaman angkasa sama seperti melihat kejadian di waktu lampau. Di sisi lain, karena alam semesta masih terus mengembang, maka bintang dan galaksi akan semakin menjauh dari waktu ke waktu. Cahaya yang dipancarkan sebuah galaksi hari ini akan menempuh jarak yang lebih jauh ketimbang cahaya yang dipancarkan pada sejuta, atau bahkan setahun lalu, karena jarak yang memisahkan kita di Bumi dengan galaksi bersangkutan terus bertambah. Konsekuensinya, jumlah energi cahaya yang mencapai kita dari objek yang jauh akan terus berkurang setiap waktu. Makin jauh sebuah bintang, makin redup ia terlihat. Dalam model ini, efek pergeseran merah seperti yang diajukan Bondi memiliki pengaruh yang lebih kecil.

Dari Cakram Gas Hingga Planet

Sebuah bintang terlahir apabila gas terkumpul dalam sebuah kabut molekuler. Gas tersebut sebagian besar tersusun dari molekul hidrogen. Karena gas memiliki mementum angular (momentum sudut), maka ia tidak dapat menempel begitu saja pada permukaan bintang. Alih-alih demikian, gas tersebut membentuk struktur semacam cakram yang tipis di sekeliling bintang, dan secara perlahan kehilangan momentum saat mengorbit bintang induknya, hingga suatu saat, akan tertarik oleh gravitasinya. Tanpa cakram di sekelilingnya, sebuah bintang tidak dapat mengumpulkan cukup massa dari kabut gas tempatnya terlahir.

Diluar fungsinya sebagai pemasok gas untuk pembentukan bintang, cakram yang mengelilingi bintang juga menyediakan bahan mentah untuk membentuk planet-planet. Material yang tertinggal secara bertahap akan menyatu, membentuk material batuan. Massa material ini perlahan tumbuh membesar, hingga membentuk apa yang disebut penetesimal (planet kecil) bergaris tengah sekitar 100 meter. Semua material ini terus berotasi di sekeliling bintang seraya bertumbuh menjadi objek yang lebih besar. Suatu saat, apabila kondisi memungkinkan, proses yang disebut akresi (accretion) ini akan melahirkan sebuah planet batuan seperti halnya Bumi kita.

Saat ini, studi observasi terhadap cakram di sekeliling bintang dilakukan dengan mengamati emisi termal (panas) dan sebaran cahaya dari material pada pada cakram. Namun demikian, dalam masa-masa awal eksistensi suatu cakram, material padat yang ada hanya berkisar satu persen dari total massa cakram. Sisanya masih dalam fase gas, dan terutama tersusun dalam bentuk molekuler (seperti karbon monoksida). Mengamati cakram dan mempelajari kandungan karbon monoksida ketimbang partikel debu, berarti kita hanya melihat pada cakram gas, yang merupakan komponen utama yang menyusun cakram.

Cakram di sekeliling bintang hanya eksis dalam jangka waktu yang pendek, saat bintang induk mengumpulkan gas dari cakram itu. Untuk memahami bagaimana suatu cakram tersusun, bayangkan bahwa suatu bintang hanya berumur seratus tahun. Dalam kasus ini, cakram di sekeliling bintang hanya eksis dari saat bintang berusia tiga hari hingga sebulan sebelum kemudian menghilang. Sebuah bintang hanya memiliki kesempatan untuk membentuk sistem planeter* pada periode terbentuknya cakram yang waktunya relatif pendek. Apabila radiasi ionisasi dari bintang menghalangi cakram debu untuk berakresi menjadi planet sebelum cakram itu lenyap, maka kesempatan sang bintang untuk membentuk sistem planeter akan hilang untuk selamanya. Kapan dan bagaimana sebah cakram menghilang memiliki konsekuensi langsung terhadap kemungkinan terbentuknya planet-planet di sekeliling bintang.


--
*) Saya lebih suka menggunakan istilah “sistem planeter” ketimbang “tata surya”, mengingat istilah tata surya seharusnya hanya mengacu kepada sistem Matahari dan tidak berlaku untuk sistem bintang lain.

Seputar Tersingkirnya Pluto

Keputusan IAU untuk mencoret Pluto dari jajaran planet sedikit banyak berpengaruh pula pada isi situs ini. Beberapa entri di bagian Astronomi, khususnya di halaman Apa dan Siapa dan Tahukah Anda yang merujuk Pluto sebagai sebuah planet kini telah direvisi. Namun demikian, untuk artikel-artikel lepas maupun entri jurnal ini yang terkait dengan Pluto tidak akan dikoreksi; tetap dibiarkan sebagaimana adanya.

Bagi pengunjung setia situs ini (saya tidak tahu, entah ada atau tidak), soal Pluto dan status keplanetannya sebenarnya bukan cerita baru. Hal itu sudah berkali-kali dibahas di situs maupun jurnal ini. Sekitar lima tahun lalu, waktu membahas soal Objek Sabuk Kuiper, saya sempat menulis bahwa:
“…Ini adalah kenyataan yang ironis mengingat pencarian planet kesepuluh dari sistem tata surya kita malahan membuat daftar yang sudah ada terancam berkurang satu…”
Sementara itu, waktu membahas secara agak rinci soal isu “planet kesepuluh” pada posting tanggal 3 April 2004 sudah saya tegaskan pula bahwa:
”…Soal keberadaan planet kesepuluh sebenarnya tidak sesederhana hitung-hitungan matematika: 9+1=10. Sejak penemuan objek Sabuk Kuiper pada 1992, kita tahu bahwa Pluto bukanlah anggota terluar dari tata Surya. Yang jadi persoalan, seandainya keluarga objek Sabuk Kuiper tidak bisa digolongkan sebagai planet, maka Pluto juga harus dicoret dari keluarga planet. Jadi, jumlah planet penghuni tata surya seharusnya cuma delapan, bukan sembilan, apalagi sepuluh. Sebaliknya, apabila keluarga Sabuk Kuiper juga bisa digolongkan sebagai planet, maka jumlah planet akan membengkak, tidak cuma sepuluh tapi bisa mencapai lusinan…”
Perkembangan terakhir berkenaan dengan status keplanetan Pluto ternyata mendukung asumsi diatas. Jadi, peristiwa terdepaknya Pluto dari “klub” planet sebenarnya bukan hal yang kelewat aneh atau mengejutkan sehingga tidak ada urgensinya untuk dibahas lagi di halaman ini.

Model Dentuman Besar


Model kosmologi Dentuman Besar bersandar pada dua gagasan kunci yang muncul di awal abad ke-20: Relativitas Umum dan Prinsip Kosmologis. Dengan mengasumsikan bahwa materi di alam semesta terdistribusi secara seragam dalam skala besar, kita bisa menggunakan Relativitas Umum untuk menghitung efek gravitasional yang berhubungan dengan materi tersebut. Karena materi merupakan bagian dari ruang-waktu dalam Relativitas Umum, melakukan hal ini sama saja dengan menghitung ruang-waktu dinamis itu sendiri. Begini ceritanya.

Mari kita bayangkan bahwa seluruh materi di alam semesta adalah homogen dan isotropik (Prinsip Kosmologis). Dengan demikian, dapat ditunjukkan bahwa distrorsi yang berhubungan pada ruang-waktu (karena efek gravitasional dari materi) hanya dapat memiliki tiga bentuk, seperti ditunjukkan pada gambar di sebelah kiri (kalau kurang jelas, silahkan klik pada gambar untuk memperbesar). Ia dapat membentuk kurva “postif” seperti permukaan sebuah bola dan terbatas seraya mengembang; ia dapat berbentuk kurva “negatif”, seperti pelana dan tak terbatas seraya mengembang; atau bisa juga berbentuk datar dan tak terbatas seraya mengembang sebagaimana konsep kita tentang ruang.

Gambaran diatas punya keterbatasan, yakni kita hanya bisa melukiskan kurvatur dua dimensi dari ruang yang sebenarnya tiga dimensi. Perlu dicatat bahwa di dalam alam semesta tertutup, kita dapat memulai perjalanan ke satu arah, dan apabila kita punya cukup waktu, kita akan kembali ke titik dimana perjalanan kita berawal; sebaliknya, dalam alam semesta tak-terbatas, kita tidak akan pernah kembali.

Sebelum kita bahas lebih jauh soal ketiga gambaran tentang alam semesta itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Karena alam semesta memiliki usia yang terbatas (sekitar 13,7 miliar tahun), berarti kita tidak dapat melihat objek yang jaraknya melebihi angka tersebut. Dalam kosmologi, jarak ini disebut sebagai horison. Model dentuman besar tidak berusaha untuk menjelaskan daerah ruang yang berada di luar horison kita—ruang-waktu bisa saja sangat berbeda disana.
Mungkin saja alam semesta memiliki topologi global yang berbeda dengan yang digambarkan disini, walaupun masih memiliki kurvatur lokal yang sama. Contohnya, ia dapat berbentuk torus (donat). Ada beberapa cara untuk menguji gagasan ini, namun tidak akan berpengaruh pada kebanyakan bahasan kita selanjutnya.
Materi memainkan peranan sentral dalam kosmologi. Kerapatan rata-rata materi di alam semesta secara khusus menentukan geometri alam semesta itu sendiri (hingga batasan yang dijelaskan diatas). Apabila kerapatan materi kurang dari apa yang disebut kerapatan kritis (critical density), itu artinya alam semesta bersifat terbuka dan tak terbatas. Apabila kerapatan materi sama dengan kerapatan kritis, maka alam semesta bisa jadi datar namun masih mungkin tak-terbatas. Nilai dari kerapatan kritis ini sangat kecil: setara dengan 6 atom hidrogen per meter kubik. Untuk ukuran di Bumi, besaran ini sudah mendekati vakum! Satu pertanyaan kunci dalam kosmologi saat ini adalah: seberapakah besar kerapatan rata-rata materi di alam semesta? Sementara ini jawabannya masih belum kita ketahui, namun kelihatannya tidak akan berbeda jauh dari kerapatan kritis.

Kita bisa memanfaatkan hukum gravitasi dengan asumsi mengenai bagaimana materi terdistribusi. Langkah berikutnya adalah berurusan dengan dinamika alam semesta—bagaimana ruang dan materi di dalamnya berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Rincian tentang hal ini tergantung pada informasi selanjutnya mengenai materi di alam semesta yakni kerapatan (massa per unit volume) dan tekanan (gaya yang menekan per unit area). Namun gambaran umum yang muncul kemudian menjelaskan bahwa alam semesta berawal dari volume yang sangat kecil, sebelum kemudian mengalami apa yang kita sebut peristiwa Dentuman Besar (Big Bang), yang juga menandai titik awal pengembangan alam semesta.

Dalam sebagian besar waktu pasca Dentuman Besar, tingkat pengembangan alam semesta telah mengalami perlambatan (decelerating), antara lain karena tarikan gravitasi materi itu sendiri. Nah, pertanyaan kunci mengenai kelanjutan nasib alam semesta adalah, apakah tarikan gravitasi akan cukup kuat untuk membalik pengembangan alam semesta sehingga menyebabkannya kembali menyusut dan akhirnya membentuk satu massa tunggal? Kenyataannya, hasil pengamatan terkini justeru menunjukkan bahwa pengembangan alam semesta mengalami percepatan (accelerating). Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa alam semesta didominasi oleh materi ganjil yang memiliki tekanan negatif.


Gambaran disamping ini menunjukkan sejumlah kemungkinan skenario dari besaran relatif ruang-waktu (klik untuk memperbesar): kurva di bagian bawah (hijau) merepresentasikan alam semesta datar, dengan kerapatan kritis alam semesta dimana tingkat pengembangan terus melambat (kurva tersebut sebenarnya lebih datar daripada yang bisa digambarkan disini). Kurva di tengah (biru) menunjukkan alam semesta terbuka, dengan kerapatan rendah dimana pengembangan alam semesta melambat, namun masih tidak sebanyak kerapatan kritis, karena tarikan gravitasi masih belum cukup kuat. Kurva di bagian atas (merah) menunjukkan alam semesta dimana sebagian besar materi eksis dalam bentuk apa yang disebut sebagai “energi gelap” (dark energy) yang menyebabkan alam semesta mengembang semakin cepat. Bukti-bukti yang ditemukan sejauh ini menunjukkan bahwa alam semesta kita mengikuti kurva merah ini.

Sebelum cerita seputar pengembangan alam semesta ini kita lanjutkan, ada beberapa miskonsepsi mengenai Dentuman Besar dan pengembangan alam semesta yang perlu diluruskan terlebih dahulu:
Dentuman Besar tidak terjadi pada satu titik dalam ruang sebagai sebuah “ledakan”. Pemikiran yang lebih tepat adalah bahwa ada kenampakan simultan dari ruang dimana-mana di alam semesta. Ingat bahwa daerah ruang didalam horison kita yang sekarang sesungguhnya di masa lampau tidak lebih besar dari sebuah titik. Namun demikian, apabila semua ruang, baik didalam maupun diluar horison sekarang adalah tak terbatas, maka ia dilahirkan tak terbatas pula. Apabila alam semesta tertutup dan terbatas, maka ia dilahirkan dengan volume nol dan tumbuh dari situ. Dalam kedua kasus tersebut, tidak dikenal adanya “pusat pengembangan”—titik dimana alam semesta mulai mengembang. Kalau kita analogikan sebagai bola, jari-jari (radius) bola bertumbuh seiring pengembangan alam semesta, tetapi semua titik di permukaan bola (alam semesta) menyusut satu sama lain dengan cara yang identik. Dalam analogi ini, bagian dalam dari bola tidak bisa dianggap sebagai bagian dari alam semesta.
Secara definisi, alam semesta meliputi seluruh ruang dan waktu seperti yang kita tahu, jadi ia berada diluar cakupan model dentuman besar. Ini adalah jawaban dari pertanyaan dari arah mana alam semesta mengembang. Baik pada model semesta terbuka maupun tertutup, satu-satunya “batas” ruang-waktu terjadi pada saat dentuman besar (dan mungkin pada proses kebalikannya yang dikenal sebagai Rekahan Besar, Big Crunch), sehingga secara logis, tidak penting (atau malahan tidak bijak) untuk mempertanyakan hal tersebut.
Juga diluar cakupan model Dentuman Besar untuk menyatakan apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa Dentuman Besar. Ada beberapa teori spekulatif mengenai topik ini, tapi tidak ada diantaranya yang yang cukup realistis dan bisa diuji dalam percobaan.
Sampai di titik ini, satu-satunya asumsi yang bisa kita buat mengenai alam semesta adalah materi terdistribusi secara homogen dan isotropis dalam skala besar. Ada sejumlah parameter bebas dalam keluarga model Dentuman Besar yang harus ditetapkan melalui pengamatan atas alam semesta kita. Beberapa yang terpenting adalah: geometri alam semesta (apakah terbuka, datar, atau tertutup); tingkat pengembangan saat ini (konstanta Hubble); Keseluruhan tingkat pengembangan, baik di masa lalu maupun mendatang, yang ditentukan oleh kerapatan fraksional dari berbagai jenis materi di alam semesta. Perlu dicatat pula bahwa usia alam semesta saat ini kita ketahui dari mengikuti sejarah pengembangan dan tingkat pengembangannya.
Seperti yang kita catat diatas, geometri dan evolusi alam semesta ditentukan oleh kontribusi fraksional dari berbagai jenis materi. Karena baik kerapatan energi dan tekanan berkontribusi terhadap kekuatan gravitasi dalam Relativitas Umum, para kosmolog membagi tipe materi berdasarkan apa yang disebut sebagai “equation of state”, hubungan antara tekanan dan kerapatan energi. Klasifikasi dasar itu adalah sebagai berikut:
Radiasi: tersusun dari partikel tak bermassa, atau hapir tak bermassa yang bergerak dengan kecepatan cahaya. Contoh yang kita kenal meliputi foton (cahaya) dan neutrino. Karakteristik khas dari materi ini adalam memiliki tekanan positif yang besar.
Materi Baryonik: ini adalah “materi biasa” yang sebagian besarnya tersusun atas proton, neutron, dan elektron. Materi dalam bentuk ini secara esensial tidak memiliki tekanan yang berpengaruh secara kosmologis.
Materi Gelap: Ini mengacu pada materi non-baryonik “eksotis” yang hanya memiliki interaksi lemah dengan materi biasa. Karena tidak ada materi semacam ini yang pernah diamati di laboratorium, maka eksistensinya hanya bisa diduga dengan alasan tertentu yang untungnya sudah pernah saya tulis disini. Materi dalam bentuk ini secara kosmologis juga tidak memiliki tekanan yang signifikan.
Energi Gelap: Ini betul-betul merupakan bentuk materi yang ganjil, atau mungkin merupakan bagian dari kekosongan itu sendiri, yang dikenali dari tekanan negatif yang besar. Ini adalah satu-satunya bentuk materi yang bisa menyebabkan pengembangan alam semesta mengalami percepatan. Lebih jauh tentang energi gelap juga sudah pernah kita bahas disini.
Salah satu tantangan besar dalam kosmologi dewasa ini adalah untuk mengenali kerapatan relatif maupun total (energi per unit volume) dalam setiap bentuk materi itu, berhubung itu merupakan hal yang sangat esensial untuk memahami evolusi dan kelanjutan nasib alam semesta kita.

Medium AntarBintang

Dalam astronomi, medium antarbintang (bahasa Inggris: interstellar medium, disingkat ISM) adalah materi (materi antarbintang/interstellar matter, ISM) dan kandungan energi (medan radiasi antarbintang/interstellar radiation field, ISRF) yang terdapat di antara bintang-bintang (atau di sekitar lingkungan bintang) dalam sebuah galaksi. ISM memainkan peranan penting dalam astrofisika karena perannya sebagai penengah antara skala-skala bintang dan galaksi.

Bintang-bintang sendiri terbentuk di wilayah ISM yang paling padat dan dingin, dan akan kembali memperkaya ISM dengan materi dan energi melalui planetary nebula, angin-angin bintang dan supernova. Selanjutnya, peristiwa saling mempengaruhi antara bintang-bintang dan ISM menentukan laju hilangnya kandungan gas sebuah galaksi dan pada akhirnya menentukan pula rentang umur aktif galaksi tersebut dalam membentuk bintang-bintang.

ISM berisi kandungan dalam jumlah yang sangat sedikit (jika bersandar pada standar bumi) dari atom, molekul, debu, radiasi elektromagnetis, sinar kosmik, dan medan magnet. Materinya biasa terdiri dari 99% partikel gas dan umumnya 1% debu, dan mengisi ruang antarbintang. Campuran ini biasanya sangat halus; kepadatan gas yang tipikal berkisar antara puluhan hingga ratusan partikel per sentimeter kubik. Akibat dari nukleosintesis primordial, gasnya menjadi sekitar 90% hidrogen dan 10% helium, ditambah dengan unsur-unsur tambahan ("logam" dalam sebutan astronomi) yang terdapat dalam jumlah kecil.

Angin matahari


Angin matahari adalah suatu aliran partikel bermuatan (yakni plasma) yang menyebar ke segala arah dari atmosfer terluar matahari yang dikenal dengan korona. Kecepatan alirnya sekitar 400 km/dt, dengan waktu tempuh dari matahari ke bumi selama 4-5 hari.

Angin matahari tersusun terutama oleh elektron ber-energi tinggi dan proton (sekitar 500 keV), yang mampu melepaskan diri dari gravitasi sebuah bintang karena energi termal nya yang sangat tinggi.

Banyak fenomena yang diakibatkan oleh angin matahari, termasuk badai geomagnetik, aurora (cahaya utara), sebagai penyebab mengapa arah ekor komet selalu menjauhi matahari, serta formasi bintang-bintang jauh.

Teori Energi Gelap

Dalam kosmologi, energi gelap adalah suatu bentuk hipotesis dari energi yang mengisi seluruh ruang dan memiliki tekanan negatif yang kuat. Menurut teori relativitas umum, efek dari adanya tekanan negatif secara kualitatif serupa dengan memiliki gaya pada skala besar yang bekerja secara berlawanan terhadap gravitasi. Menggunakan efek seperti itu sekarang merupakan cara yang sering dilakukan untuk menjelaskan pengamatan mengenai pengembangan alam semesta yang dipercepat dan juga adanya bagian besar dari massa yang hilang di alam semesta.

Dua bentuk energi gelap yang diusulkan adalah konstanta kosmologi, suatu energi yang kerapatannya tetap dan secara homogen mengisi ruang, dan quintessence, suatu medan dinamis uang kepadatan energinya dapat berubah dalam ruang dan waktu. Membedakan antara keduanya memerlukan pengukuran berketelitian tinggi dari pengembangan alam semesta untuk dapat mengerti bagaimana kecepatan pengembangan berubah terhadap waktu. Laju pengembangan ini bergantung pada parameter persamaan keadaan kosmologi. Mengukur persamaan keadaan dari energi gelap adalah salah satu usaha besar dalam kosmologi observasional.

Bukti dari adanya Energi gelap
Pada tahun 1998, pengamatan Supernova tipe Ia oleh dua grup yang berbeda yaitu, High-Z SN Search Team pimpinan Dr. Brian Schmidt dan Supernova Cosmology Project (SCP) pimpinan Dr. Saul Perlmutter, menunjukkan bahwa pengembangan alam semesta mengalami percepatan. Dalam beberapa tahun terakhir, pengamatan ini telah dikuatkan oleh beberapa sumber: radiasi kosmik gelombang mikro latar belakang, pelensaan gravitasi, usia alam semesta, nukleosintesis dentuman dahsyat, struktur kosmos berskala besar dan pengukuran dari parameter Hubble, dan juga pengukuran supernova yang lebih baik. Semua elemen ini konsisten dengan model Lamda-CDM.

Supernova tipe Ia memberikan bukti paling langsung dari adanya energi gelap. Dengan mengukur kecepatan dari objek yang menjauh menggunakan pengukuran pergeseran merah, yang merupakan efek Doppler radiasi dari objek yang menjauh. Menentukan jarak dari suatu objek adalah masalah yang sulit dalam astronomi. Kita perlu menemukan lilin standard: obyek yang diketahui kecerlangan intrinsiknya, sehingga mungkin digunakan untuk menghubungkan kecerlangan yang tampak dengan jarak. Tanpa lilin standard, tidaklah mungkin mengukur hubungan pergeseran merah dengan jarak dalam hukum Hubble. Supernova tipe Ia adalah lilin standard terbaik untuk pengamatan kosmologi, kerena mereka sangat terang dan hanya terjadi ketika massa dari bintang katai putih tua mencapai batas Chandrasekhar. Jarak ke supernova dapat digambar terhadap kecepatan, dan inilah yang digunakan untuk mengukur sejarah pengembangan alam semesta. Pengamatan ini menunjukkan bahwa alam semesta tidak mengalami perlambatan, yang seharusnya akan terjadi pada alam semesta yang didominasi oleh materi, tetapi justru secara misterius mengalami percepatan. Pengamatan ini dapat dijelaskan dengan membuat postulat tentang adanya sejenis energi yang memiliki persamaan keadaan yang negatif, yaitu energi gelap.

Keberadaan energi gelap, dalam bentuk apapun, juga memecahkan masalah yang disebut "massa yang hilang". Teori nukleosintesis dentuman dahsyat mengatur pembentukan unsur-unsur ringan pada awal alam semesta, seperti helium, deuterium, dan litium. Teori struktur kosmos berskala besar mengatur pembentukan struktur alam semesta, bintang, kuasar, galaksi dan gugus galaksi. Kedua teori ini menunjukkan bahwa kepadatan baryon dan materi gelap yang dingin di alam semesta adalah sekitar 30% dari kepadatan kritikal untuk alam semesta yang tertutup. Ini adalah kepadatan yang diperlukan untuk membuat bentuk alam semesta rata. Pengukuran radiasi kosmik gelombang mikro latar belakang, baru-baru ini menggunakan satelit WMAP, menunjukkan bahwa alam semesta hampir datar. Oleh karena itu, kita tahu bahwa suatu bentuk energi pasti mengisi 70% yang lainnya.

Efek Doppler dan Pergeseran Merah

Efek Doppler, dinamakan setelah Christian Andreas Doppler, adalah perubahan jelas dalam frekuensi atau panjang gelombang dari sebuah gelombang yang diterima oleh pengamat bergerak relatif sesuai ke sumber gelombang. Untuk gelombang, seperti gelombang suara, yang menjalar dalam medium gelombang, kecepatan pengamat dan sumber diketahui relatif ke medium di mana gelombang disalurkan. Efek Doppler total dapat merupakan hasil dari gerakan sumber atau gerakan pengamat. Tiap efek ini dianalisis secara terpisah.

Pergeseran merah
Pergeseran Merah adalah gejala bahwa frekuensi cahaya kalau diamati, di bawah situasi tertentu, bisa lebih rendah daripada frekuensi cahaya ketika terpancar di sumber. Ini biasanya terjadi kalau sumber menjauh dari pengamat, seperti pada efek Doppler. Secara khusus, istilah pergeseran merah dipakai untuk menjelaskan pengamatan bahwa spektrum cahaya yang terpancar oleh galaksi jauh bergeser ke frekuensi yang lebih rendah (terhadap akhir merah spektrum, dan begitu pula namanya) kalau dibandingkan dengan spektrum bintang yang lebih dekat. Ini diambil sebagai bukti bahwa galaksi menjauh dari satu sama lain, bahwa alam semesta berkembang dan dimulai sejak Ledakan Dahsyat.


Secara umum, pergeseran merah (dan pergeseran biru, pengamatan cahaya frekuensi yang lebih tinggi) diukur dengan

z = (frekuensi terpancar - frekuensi teramati) / frekuensi teramati = (panjang gelombang teramati - panjang gelombang terpancar) / panjang gelombang terpancar.

Pergeseran merah bisa disebabkan oleh tiga sebab:

1. Gerak-gerik sumber. Jika sumber cahaya menjauh dari pengamat, maka pergeseran merah (z > 0) terjadi; jika sumber mendekati pengamat, maka pergeseran biru (z < 0) terjadi. Hal ini berlaku untuk semua gelombang dan diterangkan oleh efek Doppler. Jika sumber bergerak menjauh dari pengamat dengan kecepatan v dan kecepatan ini jauh lebih kecil daripada kecepatan cahaya c, maka pergeseran merah dapat diperkirakan dengan

z ≈ v/c

2. Perluasan ruang. Model yang sekarang dipakai oleh kosmologi menganggap benar perluasan ruang. Cahaya akan mengalami pergeseran merah jika ruang meluas. Dalam arti, memperluas angkasa dan perpindahan sumber adalah perspektif berbeda atas gejala itu juga: daripada sebuah sumber bergerak, seseorang dapat secara alternatif dan sepadan mengambil sebuah sumber diam dan ruang di antara sumber dan pengamat yang memuai.


3. Efek gravitasi. Teori relativitas umum memuat bahwa perpindahan cahaya itu lewat bidang gravitasi yang kuat akan mengalami pergeseran merah atau biru. ' Ini diketahui sebagai Pergeseran Einstein.


Efek ini sangat kecil tetapi dapat diukur di Bumi menggunakan efek Mossbauer. Namun efek ini cukup berarti di dekat lubang hitam dan sewaktu benda mendekat ke cakrawala, perubahan merah menjadi tak terhingga. Pergeseran Merah Gravitasi ditawarkan sebagai keterangan pergeseran merah dari quasars di 1960-an, walaupun ini secara luas tidak disetujui sekarang.

Pergeseran merah yang dilihat di astronomi bisa diukur karena spektrum emisi dan absorbsi untuk atom adalah khas dan diketahui dengan baik.

Hukum Hubble

Hukum Hubble adalah salah satu hukum dalam astronomi yang menyatakan bahwa pergeseran merah dari cahaya yang datang dari galaksi yang jauh adalah sebanding dengan jaraknya. Hukum ini pertama kali dirumuskan oleh Edwin Hubble pada tahun 1929.

Jika kita menganggap bahwa pergeseran merah ini disebabkan oleh efek Doppler di mana galaksi menjauhi kita maka hal ini membawa kita pada suatu gambaran tentang alam semesta yang mengembang dan, dengan melakukan ekstrapolasi waktu ke belakang, kita sampai pada teori dentuman dahsyat atau Big Bang. Hubble membandingkan jarak ke galaksi dekat dengan pergeseran merah mereka, dan menemukan hubungan yang linear. Perkiraannya tentang suatu konstanta perbandingan ini dikenal dengan nama konstanta Hubble (dan sekarang juga dikenal sebagai "parameter Hubble" karena ternyata hal ini bukanlah sekedar konstanta, melainkan suatu parameter yang tergantung pada waktu yang menandakan perluasan alam semesta yang dipercepat), sebenarnya meleset dengan faktor 10. Lebih jauh lagi, jika seseoarang menggunakan pengamatan Hubble yang asli dan kemudian memakai jarak yang paling akurat dan kecepatan yang sekarang diketahui, ia akan memperoleh suatu grafik scatter plot yang acak tanpa hubungan yang jelas antara pergeseran merah dengan jarak. Sekalipun demikian, hubungan yang hampir linear antara pergeseran merah dan jarak dikuatkan oleh pengamatan setelah Hubble. Hukum ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

v = H0 D
di mana v adalah pergeseran merah, biasanya dinyatakan dalam km/s (kecepatan di mana galaksi menjauhi kita, untuk menghasilkan pergeseran merah ini melalui efek Doppler), H0 adalah parameter Hubble (pada pengamat, seperti dilambangkan dengan indeks 0), dan D adalah jarak sekarang dari pengamat ke galaksi, yang diukur dalam megaparsec: Mpc.

Kita dapat menurunkan hukum Hubble secara matematis jika ia menganggap bahwa alam semesta mengembang (atau menyusut) dan menganggap bahwa alam semesta adalah homogeneous, yang berarti bahwa semua titik di dalamnya adalah sama.

Selama sebagian besar dari pertengahan kedua abad ke-20, nilai dari H0 diperkirakan berada di antara 50 dan 90 km/s/Mpc. Nilai dari konstanta Hubble sudah merupakan topik kontroversi yang cukup lama dan pahit antara Gérard de Vaucouleurs yang menyatakan bahwa nilainya adalah 100 dan Allan Sandage yang menyatakan bahwa nilainya adalah 50. Proyek Hubble Key benar-benar melakukan perbaikan penting dalam menentukan nilai ini dan pada bulan Mei 2001 mempublikasikan perkiraanya sekitar 72+/-8 km/s/Mpc. Pada tahun 2003 satelit WMAP menyempurnakan lebih jauh menjadi 71+/-4, menggunakan cara yang sama sekali berbeda, berdasarkan pada pengukuran anisotropi pada radiasi latar belakang gelombang mikro kosmik. Angka ini kemudian dikoreksi lagi pada Agustus 2006. Berdasarkan data dari Observatorium Sinar X Chandra (Chandra X-ray Observatory), nilai konstanta Hubble ditetapkan pada angka 70 (km/s)/Mpc, +2.4/-3.2.

Konstanta Hubble adalah "konstan" dalam arti bahwa konstanta ini dipercaya bisa dipakai untuk semua kecepatan dan jarak pada masa sekarang. Nilai dari H (yang biasa disebut sebagai parameter Hubble untuk membedakannya dengan nilai sekarang, konstanta Hubble) berkurang terhadap waktu. Jika kita menganggap bahwa semua galaksi mempertahankan kecepatannya relatif terhadap kita dan tidak mengalami percepatan atau perlambatan, maka kita memiliki D = vt dan oleh karena itu H = 1/t, di mana t adalah waktu sejak dentuman dahsyat (Big Bang). Rumus ini dapat digunakan untuk memperkirakan usia alam semesta dari H.

Berdasarkan pengamatan akhir-akhir ini, sekarang dipercaya bahwa galaksi dipercepat menjauhi kita, yang berarti bahwa H > 1/t (tetapi tetap saja berkurang terhadap waktu) dan perkiraan 1/H0 (antara 11 dan 20 milyar tahun) sebagai usia alam semesta terlalu kecil.

Ada beberapa catatan tambahan yang dapat dibuat:

Jarak D ke galaksi dekat dapat diperkirakan misalnya dengan membandingkan kecerahan yang tampak dengan kecerahan mutlak yang dianggap benar.
Jika galaksi itu sangat jauh, maka kita harus mengambil D sebagai jarak ke galaksi pada masa sekarang, bukan pada saat cahaya itu dipancarkan. Jarak ini sangatlah sulit untuk ditentukan.

Kecepatan v didefinisikan sebagai laju perubahan D.
Untuk galaksi yang cukup dekat, kecepatan v dapat ditentukan dari pergeseran merah galaksi z menggunakan rumus v ≈ zc di mana c adalah kecepatan cahaya. Akan tetapi, hanya kecepatan karena pengembangan alam semesta yang boleh dipakai: semua galaksi bergerak relatif antara satu dengan yang lain tidak tergantung pada pengembangan alam semesta, dan kecepatan relatif dari galaksi-galaksi ini, yang disebut kecepatan peculiar tidak diperhitungkan oleh hukum Hubble. Untuk galaksi-galaksi yang sangat jauh, v tidak dapat ditentukan dengan mudah dari pergeseran merah z dan bisa lebih besar dari c.

Sistem yang diikat oleh gravitasi, seperti galaksi atau tata surya kita, bukanlah subjek dari hukum Hubble dan tidak mengembang.

Kosmologi dan teori pembentukan alam semesta


Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama. Lihat juga kosmogoni.

Kosmogoni adalah cabang astrofisika yang mempelajari asal dan struktur alam semesta secara luas (berlawanan dengan penelitian asal benda langit secara khusus). Dengan demikian, kosmogoni adalah catatan bagaimana alam semesta terbentuk; dan oleh karena itu, cerita penciptaan dalam Kitab Kejadian adalah suatu kosmogoni, dan ada banyak yang lain, baik ilmiah maupun mitologis.

Big BangBig Bang (terjemahan bebas: Ledakan Dahsyat atau Dentuman Besar) dalam kosmologi adalah salah satu teori ilmu pengetahuan yang menjelaskan perkembangan dan bentuk awal dari alam semesta. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari ledakan mahadahsyat yang terjadi sekitar 13.700 juta tahun lalu. Ledakan ini melontarkan materi dalam jumlah sangat besar ke segala penjuru alam semesta. Materi-materi ini kemudian yang kemudian mengisi alam semesta ini dalam bentuk bintang, planet, debu kosmis, asteroid/meteor, energi, dan partikel lainnya dialam semesta ini.

Para ilmuwan juga percaya bawa Big Bang membentuk sistem tata surya. Ide sentral dari teori ini adalah bahwa teori relativitas umum dapat dikombinasikan dengan hasil pemantauan dalam skala besar pada pergerakan galaksi terhadap satu sama lain, dan meramalkan bahwa suatu saat alam semesta akan kembali atau terus. Konsekuensi alami dari Teori Big Bang yaitu pada masa lampau alam semesta punya suhu yang jauh lebih tinggi dan kerapatan yang jauh lebih tinggi.

Big-Bang & Alam Semesta yang Mengembang
Pada tahun 1929 Astronom Amerika Serikat, Edwin Hubble melakukan observasi dan melihat Galaksi yang jauh dan bergerak selalu menjauhi kita dengan kecepatan yang tinggi. Ia juga melihat jarak antara Galaksi-galaksi bertambah setiap saat. Penemuan Hubble ini menunjukkan bahwa Alam Semesta kita tidaklah statis seperti yang dipercaya sejak lama, namun bergerak mengembang. Kemudian ini menimbulkan suatu perkiraan bahwa Alam Semesta bermula dari suatu ledakan sangat besar pada suatu saat di masa lampau yang dinamakan Dentuman Besar.

Pada saat itu dimana Alam Semesta memiliki ukuran nol, dan berada pada kerapatan dan panas tak terhingga; kemudian meledak dan mengembang dengan laju pengembangan yang kritis, yang tidak terlalu lambat untuk membuatnya segera mengerut, atau terlalu cepat sehingga membuatnya menjadi kurang lebih kosong. Dan sesudah itu, kurang lebih jutaan tahun berikutnya, Alam Semesta akan terus mengembang tanpa kejadian-kejadian lain apapun. Alam Semesta secara keseluruhan akan terus mengembang dan mendingin.

Alam Semesta berkembang, dengan laju 5%-10% per seribu juta tahun. Alam Semesta akan mengembang terus,namun dengan kelajuan yang semakin kecil,dan semakin kecil, meskipun tidak benar-benar mencapai nol. Walaupun andaikata Alam Semesta berkontraksi, ini tidak akan terjadi setidaknya untuk beberapa milyar tahun lagi.

Berbagai macam energi yang ada di Alam Semesta ini jika ditelusuri adalah berasal dari energi Big Bang, yaitu energi pada saat penciptaan. Jumlah total seluruh energi di Alam Semesta ini adalah tepat nol.

Alam semesta


Pada pertengahan pertama abad ke 20, kata alam semesta digunakan untuk menjelaskan seluruh ruang waktu kontinu dimana kita berada, dengan energi dan materi yang dimilikinya. Usaha untuk memahami pegertian alam semesta dalam lingkup ini pada skala terbesar yang memungkinkan, ada pada kosmologi, ilmu pengetahuan yang berkembang dari fisika dan astronomi.

Pada pertengahan terakhir abad ke 20, perkembangan kosmologi berdasarkan pengamatan, juga disebut fisika kosmologi, mengarahkan pada pembagian kata alam semesta, antara kosmologi pengamatan dan kosmologi teoritis; yang (biasanya) para ahli menyatakan tidak ada harapan untuk mengamati keseluruhan dari ruang waktu kontinu, kemudian harapan ini dimunculkan, mencoba untuk menemukan spekulasi paling beralasan untuk model keseluruhan dari ruang waktu, mencoba mengatasi kesulitan dalam mengimajinasikan batasan empiris untuk spekulasi tersebut dan resiko pengabaian menuju metafisika.

Tuesday, May 22, 2007

Achernar

Terletak sejauh 144 tahun cahaya dari Matahari, bintang yang satu ini menandai ujung selatan rasi Eridanus (“sungai”). Achernar, nama bintang ini berasal dari bahasa arab “Al Akhir al Nahr” yang artinya “muara sungai”. Achernar adalah bintang paling cemerlang nomor sembilan di langit malam. Posisi bintang ini sekitar 32 derajat dari kutub selatan dan karenanya tidak terlalu dikenal oleh mereka yang tinggal di belahan utara katulistiwa.

Achernar adalah bintang biru-putih yang sedang berada dalam tahapan utamanya. Berdasarkan kelas spektral dan luminositasnya, bintang ini digolongkan dalam kelas B3 Vpe. Sebelumnya, Achernar sempat diklasifikasikan secemerlang bintang sub-raksasa. Massanya berkisar pada 6 hingga 8 kali massa Matahari, dengan diameter 14,4 (± 0,4; polar) hingga 24,0 (± 0,8; ekuatorial) kali diameter matahari. Luminositas visualnya setara dengan 1.070 kali matahari dengan luminositas bolometrik (bergantung pada perkiraan radiasi ultraviolet yang dipancarkan) setidaknya 2.900 hingga 5.400 kalinya.

Bintang yang berotasi dengan sangat cepat ini tergolong bintang yang masih sangat muda. Usianya tidak lebih dari beberapa ratus juta tahun. Sambil melontarkan massa dengan besaran ribuan kali massa matahari, Achernar berotasi dengan kecepatan mencapai 225 hingga 300 kilometer per detik sehingga membuatnya tergolong sebagai bintang “Be” (B-emission), dimana ia dilingkupi oleh emisi sirkumstelar (circumstellar emission, CSE) – gas yang melingkupi bintang – yang terus berekspansi akibat massa yang terlontar dari bintang tersebut. Sebagai bintang bermassa besar yang usianya masih sangat muda, Achernar berotasi dengan sangat cepat, dengan periode rotasi hanya dalam hitungan jam.

Achernar juga merupakan bagian dari kelas bintang yang ganjil, Lambda Eridani, yang beranggotakan bintang-bintang yang menunjukkan variasi kecerlangan yang kecil namun sangat teratur (dengan periode 1,25 hari) yang mungkin disebabkan oleh adanya denyutan atau oleh rotasi dan keberadaan bintik gelap (seperti sunspot pada matahari kita). Walaupun Achernar adalah bintang yang masif, ia masih cukup muda untuk melakukan reaksi fusi hidrogen menjadi helium pada intinya, dan ukurannya mungkin cukup kecil untuk kelak berevolusi menjadi bintang kerdil putih semacam Sirius B.

Pada Juli 2003, suatu tim astronom dari European Southern Observatory (ESO) yang beranggotakan Armando Domiciano de Souza, Lyu Abe, Farrokh Vakili, Pierre Kervella, Slobodan Jankov, Emmanuel DiFolco, dan Francesco Paresce mengumumkan bahwa Achernar lebih pepat (datar pada kutub-kutubnya) ketimbang yang sebelumnya diprediksikan, dengan radius pada ekuator lebih dari 50 persen lebih besar daripada kutubnya. Berdasarkan penelitian tim ini, besaran angular pada profil eliptik Archenar adalah 0,00253 ± 0,00006 detik busur (major axis) dan 0,00162 ± 0,00001 detik busur (minor axis). Pada jarak yang terukur, radius bintang pada ekuator diperkirakan sekitar 12 ± 0.4 kali matahari sementara batas atas (upper value) radius pada kutub diperkitakan sekitar 7,7 ± 0,2 kali matahari, atau sekitar 8,4 dan 5,4 juta kilometer. Tim ESO memperkirakan bahwa batas atas tersebut bergantung pada sudut inklinasi (kemiringan) dari sumbu kutub bintang tersebut terhadap garis pandang dari Bumi, sehingga ukuran sebenarnya mungkin lebih kecil.

Di sisi lain, bentuk semacam Archenar tidak dapat direproduksi melalui model interior bintang yang umum, kecuali apabila ada fenomena lain yang ikut ambil bagian, termasuk sirkulasi meridional di permukaan (“aliran utara-selatan”) dan rotasi yang tidak seragam pada kedalaman yang berbeda pada bintang ini. Salah satu efek samping dari kepepatan yang ekstrim pada bintang ini adalah tingginya tingkat kehilangan massa dari permukaan, yang juga turut diperbesar oleh rotasinya yang sangat kencang melalui efek sentrifugal.

Berdasarkan intensitas radiasi ultravioletnya yang tinggi, jarak dari Achernar dimana planet setipe Bumi dapat membentuk, lengkap dengan keberadaan air dalam bentuk cair, adalah antara 54 hingga 73 AU, atau diluar orbit Pluto di tata surya kita. Dalam jarak sedemikian dari bintang induknya, suatu planet akan memiliki periode orbit antara 160 hingga 260 tahun Bumi. Apabila ada kehidupan di planet setipe Bumi yang mengorbit Achernar, itu mestilah organisme primitif bersel satu, bakteri anaerobik (tidak menghasilkan oksigen), dibawah bombardemen yang konstan dari meteorit dan komet, seperti yang pernah dialami Bumi pada satu miliar tahun pertama terbentuknya. Karena ketiadaan oksigen, maka planet itu mungkin tidak memiliki lapisan Ozon (O3), meskipun Achernar melepaskan sejumlah besar radiasi (khususnya ultraviolet) ketimbang matahari. Para astronom mungkin akan kesulitan untuk mendeteksi keberadaan planet seukuran Bumi di sekeliling Achernar apabila menggunakan metode yang dikenal saat ini.

O, ya. Karena bintang ini merupakan bintang paling terang di rasi Eridanus, maka Achernar juga dikenal sebagai Alfa Eridani. Sounds familiar, huh?

Perhitungan Parameter Fisik Bintang

penentuan terhadap parameter fisik bintang, diantaranya diameter, suhu, hingga kerapatan, jelas berbeda dengan perhitungan serupa pada benda-benda di bumi. Berhubung jaraknya yang sangat jauh dan tak terjangkau secara fisik, perlu metodologi khusus untuk melakukan pengukuran semacam ini.

Untuk mengukur diameter bintang biasa digunakan beberapa cara. Dari kecerlangan dan jarak bintang, kita bisa menghitung luminositasnya (L), sementara dari observasi terhadap kecerlangan pada panjang gelombang yang berbeda, kita bisa menghitung temperaturnya (T). Karena radiasi dari banyak bintang dapat diperkirakan dengan cukup akurat melalui spektrum benda-hitam Planck, besaran yang diperoleh dapat dihubungkan melalui persamaan:

L = 4πR2σT4

Dari sini, kita memperoleh cara untuk menghitung R, radius (jari-jari) bintang. Dalam persamaan diatas, σ adalah konstanta Stefan yang nilainya 5,67 × 10-5 erg/cm2deg4sec. (Radius R disini merujuk pada fotosfer bintang, daerah dimana bintang secara efektif terlihat bulat melalui pengamatan dari luar.) Diameter sudut bintang dapat dihitung melalui efek interferensi. Alternatif lainnya, kita bisa mengamati intensitas cahaya bintang saat ditutupi oleh Bulan, yang menghasilkan difraksi di bagian pinggir dengan pola yang bergantung kepada diameter sudut bintang. Diameter sudut bintang sebesar beberapa milidetik-busur dapat diukur, namun sejauh ini terbatas pada bintang-bintang yang relatif cemerlang dan dekat.

Banyak bintang yang membentuk sistem bintang ganda, dimana dua buah bintang secara berpasangan mengorbit suatu pusat massa bersama. Periode (P) dari sistem bintang ganda berhubungan dengan massa dari kedua bintang (m1 + m2), dan sumbu orbital semimayor a melalui hukum ketiga kepler:

P2=4π2a3/G[m1 + m2]

Dimana G adalah konstanta gravitasi universal. Dari diameter dan massa, nilai rata-rata kerapatan (densitas) bintang dapat dihitung, dan kemudian kita juga bisa mengukur tekanan dan temperatur di pusat bintang. Sebagai contoh, Matahari kita memiliki kerapatan di pusatnya sebesar 158 g/cm3, tekanan diperhitungkan mencapai 1.000.000.000 atmosfir, dengan suhu mencapai 15.000.000 K. Dalam suhu setinggi ini, semua atom akan terionisasi, dan dengan demikian interior matahari terdiri dari plasma dan gas yang terionisasi, dengan inti atom hidrogen dan helium serta elektron sebagai penyusun utamanya. Sekelompok kecil inti hidrogen bergerak dengan kecepatan sedemikian tinggi hingga ketika bertumbukan, terjadi tolakan elektrostatik yang menyebabkan fusi (penggabungan) inti helium dan diikuti oleh pelepasan energi. Sebagian energi dihantarkan oleh neutrino, namun sebagian besar dihantarkan oleh foton ke permukaan matahari. Proses inilah yang memungkinkan Matahari memancarkan sinarnya.

Bintang lainnya, baik yang lebih maupun kurang masif dibandingkan Matahari, memiliki struktur yang kurang lebih sama, namun dalam hal ukuran, tekanan dan temperatur di pusat, dan kecepatan reaksi fusi, semuanya bergantung pada massa dan komposisi bintang bersangkutan. Bintang dan reaksi fusi didalamnya (dan luminositas resultannya) tetap dalam keadaan stabil dan terhindar dari keruntuhan karena adanya keseimbangan antara tekanan ke arah dalam yang dihasilkan oleh tarikan gravitasi dan tekanan ke arah luar yang dipicu oleh foton hasil dari reaksi fusi.

Bintang yang berada dalam keadaan keseimbangan hidrostatik semacam ini disebut sebagai bintang tahapan utama (main-sequence). Dengan memanfaatkan diagram Hertzprung-Russel (H-R), kita bisa menghitung temperatur bintang berdasarkan magnitudo dan spektrumnya. Pengukuran terhadap magnitudo tampak pada pita spektral B dan V (antara 4350 dan 5550 angstrom [Å]) memungkinkan kita menghitung indeks warna (colour index), CI = mB - mV, dimana dari sana kita bisa menghitung suhu pada bintang.

Untuk suhu yang diberikan, ada bintang yang memiliki luminositas lebih besar dari bintang tahapan utama. Besar nilai R2T4 bergantung pada luminositasnya, makin besar luminositas, berarti radiusnya juga lebih besar. Bintang yang radiusnya lebih besar dari bintang-bintang tahapan utama kita golongkan sebagai bintang raksasa atau super-raksasa. Sebaliknya, bintang yang radiusnya lebih kecil kita masukkan kedalam golongan bintang kerdil. Bintang kerdil putih misalnya, memiliki rentang suhu berkisar 10.000 hingga 12.000 K dan secara visual terlihat berwana putih kebiruan.

Klasifikasi spektral didasarkan pada indeks warna. Seperti sudah pernah kita pelajari disini, bintang-bintang dikelompokkan menjadi kelas-kelas spektral O, B, A, F, G, K, dan M, yang masing-masing dibagi lagi menjadi 10 subdivisi (bagian). Kekuatan garis-garis spektrum pada sebuah bintang menunjukkan kelimpahan elemen di atmosfer bintang bersangkutan. Dari sini, masing-masing subdivisi untuk tiap bintang ditentukan. Matahari, misalnya, adalah bintang tahapan utama, yang dikelompokkan sebagai bintang tipe G2 V (V menunjukkan bintang tahapan utama), sementara Betelgeuse yang merupakan sebuah bintang super-raksasa merah, dengan suhu di permukaan sekitar setengah kali Matahari namun dengan luminositas sekitar 10.000 kalinya, dikelompokkan sebagai M2 Iab.